Cari Blog Ini

Jumat, 05 Juni 2015

SEKS BEBAS



Undang-Undang N0. 52 Tahun 2009 menekankan bahwa Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga telah mengamanatkan perlunya pengendalian kuantitas, peningkatan kualitas dan pengarahan mobilitas penduduk agar mampu menjadi sumberdaya yang tangguh bagi pembangunan dan ketahanan nasional. Mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan , melalui promosi, perlindungan dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga berkualitas. Keluarga berkualitas yang dimaksud adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah dan bercirikan sejahtera, sehat maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan bertanggung jawab, harmonis dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. (BKKBN, 2011)
Tumbuh kembang merupakan proses yang berkesinambungan yang terjadi sejak intra unterin dan terus berlangsung sampai dewasa. Dalam proses dewasa inilah anak harus melalui berbagai tahap tumbuh kembang, termasuk tahap remaja. Tahap remaja adalah masa transisi antara masa anak dan masa dewasa, dimana terjadi pacu tumbuh, timbul ciri – ciri seks, tercapai fertilitas dan terjadi perubahan psikologik serta kognitif (Soetjiningsih, 2010).
Masa remaja adalah masa yang penuh gejolak, masa yang penuh dengan berbagai pengenalan dan petualangan akan hal-hal yang baru sebagai bekal untuk mengisi kehidupan mereka kelak. Disaat remajalah proses menjadi manusia dewasa berlangsung. Pengalaman manis, pahit, sedih, gembira, lucu bahkan menyakitkan mungkin akan dialami dalam rangka mencari jati diri. Sayangnya, banyak diantara mereka yang tidak sadar bahwa beberapa pengalaman yang tampaknya menyenangkan justru dapat menjerumuskan. Rasa ingin tahu dari para remaja kadang-kadang kurang disertai pertimbangan rasional akan akibat lanjut dari suatu perbuatan. (Sarwono, 2011)
Apalagi keluarga yang kurang harmonis dan kurangnya komunikasi dengan orang tua dapat menyebabkan seorang anak melakukan penyimpangan sosial serta seks bebas yang melanggar nilai-nilai dan norma sosial. Ayah dan ibu mereka yang memiliki kesibukan di luar rumah akan membuat anak-anak remaja semakin menjadi-jadi, sehingga mereka merasa tidak diperdulikan lagi. Seperti pengetahuan, sikap, kepribadian dan faktor eksternal remaja seperti lingkungan tempat dirinya berada.
Banyak lingkungan yang diminati remaja yang dianggap mempunyai daya tarik. Salah satu lingkungan tersebut adalah lingkungan yang berisiko bagi masa depan remaja yaitu relasi - relasi seksual tanpa ikatan. Tugas perkembangan masa remaja menuntut perubahan besar antara lain mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita, mencapai peran sosial pria dan wanita, mampu menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif, mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab, mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa, mempersiapkan karier ekonomi, mempersiapkan perkawinan dan keluarga, juga memperoleh nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk mengubah perilaku yang ideologis.
Ternyata di satu pihak, ruang sekolah merupakan satu segi masyarakat yang mampu bertindak memberikan Pendidikan Seks kepada kaum remaja Indonesia dan ruang sekolah merupakan suatu lingkungan yang memperkenalkan kaum remaja kepada masalah dan ‘bahayanya’ seks, dengan begitu ruang sekolah mampu melindungi kaum remaja dari resiko ini dengan informasi. Fakta-fakta ini memperkuatkan kebutuhan remaja untuk menerima Pendidikan Seks yang mengajar informasi yang benar tentang seks.
Sex education sendiri merupakan pendidikan pengetahuan yang berkaitan dengan fungsi organ reproduksi dengan menjunjung tinggi aspek moral, etika, dan pondasi agama untuk menghindari terjadinya “penyimpangan” organ reproduksi. Penerapan sex education ini dapat dilakukan sejak dini, tepatnya di berbagai jenjang pendidikan, mulai dari SD, SMP sampai SMA.
Di jenjang SMA, penerapan sex education dilakukan dengan mengedepankan aspek nilai- nilai moral dan kesehatan. Hal ini dapat dilakukan dengan penyampaian oleh pihak terkait langsung seperti dokter dan polisi, dengan tujuan agar mereka merasa yakin bahwa betapa berbahayanya jika melakukan seks bebas. Tentu sanksi yanng didapatkan akibat melakukan seks bebas harus disampaikan secara tegas
Sikap mental yang tidak sehat membuat banyaknya remaja merasa bangga terhadap pergaulan yang sebenarnya merupakan pergaulan yang tidak sepantasnya, tetapi mereka tidak memahami karena daya pemahaman yang lemah. Dimana ketidakstabilan emosi yang dipacu dengan penganiayaan emosi seperti pembentukan kepribadian yang tidak sewajarnya dikarenakan tindakan keluarga ataupun orang tua yang menolak, acuh tak acuh, menghukum, mengolok-olok, memaksakan kehendak, dan mengajarkan yang salah tanpa dibekali dasar keimanan yang kuat bagi anak. Seorang anak hendaknya bergaul dengan teman yang sebaya, yang hanya beda 2 atau 3 tahun baik lebih tua darinya.
Hal tersebut dikarenakan apabila seorang anak bergaul dengan teman yang tidak sebaya yang hidupnya berbeda, sehingga dia pun bisa terpengaruh gaya hidupnya yang mungkin belum saatnya untuk dia jalani. Pengawasan yang lebih terhadap media komunikasi, seperti internet, handphone, dan lain-lain. Perlunya bimbingan kepribadian bagi seorang anak agar dia mampu memilih dan membedakan mana yang baik untuk dia maupun yang tidak baik. (Depkes RI, 2011).
Bersosialisasi merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia, sebab manusia adalah makhluk sosial yang dalam kesehariannya membutuhkan orang lain, dan hubungan antar manusia dibina melalui suatu pergaulan. Ada banyak sebab remaja melakukan pergaulan bebas. Penyebab tiap remaja mungkin berbeda tetapi semuanya berakar dari penyebab utama yaitu kurangnya pendidiksn keluarga dalam pegangan hidup remaja dalam hal keyakinan agama dan ketidakstabilan emosi remaja. Hal tersebut menyebabkan perilaku yang tidak terkendali, seperti pergaulan bebas dan penggunaan narkoba yang berujung kepada penyakit seperti HIV & AIDS ataupun kematian.
Sikap mental yang tidak sehat membuat banyaknya remaja merasa bangga terhadap pergaulan yang sebenarnya merupakan pergaulan yang tidak sepantasnya, tetapi mereka tidak memahami karena daya pemahaman yang lemah. Dimana ketidakstabilan emosi yang dipacu dengan penganiayaan emosi seperti pembentukan kepribadian yang tidak sewajarnya dikarenakan tindakan keluarga ataupun orang tua yang menolak, acuh tak acuh, menghukum, mengolok-olok, memaksakan kehendak, dan mengajarkan yang salah tanpa dibekali dasar keimanan yang kuat bagi anak. Seorang anak hendaknya bergaul dengan teman yang sebaya, yang hanya beda 2 atau 3 tahun baik lebih tua darinya.
Hal tersebut dikarenakan apabila seorang anak bergaul dengan teman yang tidak sebaya yang hidupnya berbeda, sehingga dia pun bisa terpengaruh gaya hidupnya yang mungkin belum saatnya untuk dia jalani. Pengawasan yang lebih terhadap media komunikasi, seperti internet, handphone, dan lain-lain. Perlunya bimbingan kepribadian bagi seorang anak agar dia mampu memilih dan membedakan mana yang baik untuk dia maupun yang tidak baik. (Depkes RI, 2011).
Alasan remaja melakukan tindakan negatif sampai terjadi pergaulan bebas yaitu dipengaruhi oleh beberapa faktor internal remaja faktor penyebab seks bebas yang dialami remaja dapat dikategorikan menjadi dua yaitu:
faktor Internal. faktor internal atau lebih lazimnya dari dalam diri seseorang remaja itu. Keinginan untuk dimengerti lebih dari orang lain bisa menjadi penyebab remaja melakukan tindakan penyimpangan, sikap yang terlalu merendahkan diri sendiri atau selalu meninggikan diri sendiri, jika terlalu merendahkan diri sendiri orang remaja lebih mencari jalan pintas untuk menyelesaikan sesuatu dia beranggapan jika saya tidak begini saya bisa dianggap orang lain tidak gaul, tidak mengikuti perkembangan zaman.
faktor eksternal. faktor eksternal / faktor dari luar pribadi seseorang remaja.
Faktor paling terbesar memberi terjadinya prilaku menyimpang seseorang remaja yaitu lingkungan dan sahabat. Seseorang sahabat yang sering berkumpul bersama dalam satu geng, otomatis dia akan tertular oleh sikap dan sifat kawannya tersebut. Kasih sayang dan perhatian orang tua tidak sepenuhnya tercurahkan, membuat seorang anak tidak betah berada di dalam rumah tersebut, mereka lebih senang untuk berada di luar bersama kawan-kawannya.
Menurut WHO, 2011 memperkirakan ada 20 juta kejadian aborsi tidak aman  di dunia, 9,5 % (19 dari 20 juta tindakan aborsi tidak aman) diantaranya terjadi di negara berkembang. Sekitar 13 % dari total perempuan yang melakukan aborsi tidak aman berakhir dengan kematian. Resiko kematian akibat aborsi yang tidak aman di wilayah Asia diperkirakan 1 berbanding 3700 dibanding dengan aborsi. Diwilayah Asia Tenggara, WHO memperkirakan 4,2 juta aborsi dilakukan setiap tahun, dan sekitar 750.000 sampai 1,5 juta terjadi di Indonesia, dimana 2.500 di antaranya berakhir dengan kematian (Nuriiwiyati, 2012)
Data Riskesdas 2010 menunjukan bahwa prevalensi umur perkawinan pertama antara 15-19 tahun sebanyak 41,9 persen. Menurut SDKI Tahun 2007, 17 persen wanita yang saat ini berumur 45-49 tahun menikah pada umur 15 tahun, sedangkan proporsi wanita yang menikah pada umur 15 tahun berkurang dari 9 persen untuk umur 30-34 tahun menjadi 4 persen untuk wanita umur 20-24 tahun. Menurut data Susenas Tahun 2010, secara nasional rata-rata usia kawin pertama di Indonesia 19.70 tahun, rata-rata usia kawin didaerah perkotaan 20.53 tahun dan di daerah perdesaan 18.94 tahun, masih terdapat beberapa propinsi rata-rata umur kawin pertama perempuan dibawah angka nasional. Data BPS tahun 2010, menunjukkan rata-rata perempuan di daerah perkotaan menikah pada usia 20-22 tahun, hal ini disebabkan karena partisipasi perempuan dalam karir dan pekerjaan sebelum perkawinan sehingga dapat menunda usia perkawinan. (BKKBN, 2011)
Walaupun telah terjadi sedikit peningkatan usia perkawinan pertama pada perempuan namun perlu mendapat perhatian karena dapat memberikan dampak pada peningkatan TFR. Salah satu program kependudukan yang dapat mengendalikan jumlah penduduk dan langsung sasarannya terhadap perkawinan pertama pada perempuan adalah program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP). Program PUP ini adalah upaya untuk meningkatkan usia perkawinan pertama, sehingga mencapai usia minimal pada saat perkawinan usia 20 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria. Program ini bisa terlaksana dengan baik apabila semua pihak yang terkait mendukung. Salah satu kendala dalam pelaksanaan program PUP di lapangan adalah belum direvisinya Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 yang membolehkan perkawinan pada usia 16 tahun untuk wanita dan 18 tahun untuk pria. (BKKBN, 2011)
Dalam masalah ini untuk menekan jumlah pelaku seks bebas terutama dikalangan remaja bukan hanya membentengi diri mereka dengan unsur agama yang kuat, juga dibarengi dengan pendamping orang tua dan selektivitas dalam memilih teman - teman. Karena ada kecendrungan remaja lebih terbuka kepada teman dekatnya ketimbang orang tua mereka sendiri (Soetjiningsih, 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar