A.
Persalinan
seksio sesarea
1. Istilah-istilah
dalam seksio sesarea
Proses
seksio sesarea ada yang direncanakan dan ada yang dilakukan karena tindakan
gawat darurat. Menurut Mochtar (1998), seksio sesarea memiliki beberapa
istilah, diantaranya yang sering digunakan untuk membedakan antara yang
direncanakn dan yang darurat yaitu, seksio
sesarea primer (elektif): dari semula telah direncanakan bahwa janin akan
dilahirkan secara seksio sesarea, tidak diharapkan lagi kelahiran biasa,
misalnya pada panggul sempit (CV kecil dari 8 cm). Seksio sesarea sekunder : dalam hal ini kita akan mencoba menunggu
kelahiran biasa (partus percobaan), bila tidak ada kemajuan persalinan atau
partus percobaan gagal, baru dilakukan seksio sesarea. Seksio sesarea ulang adalah ibu pada kehamilan yang lalu mengalami
seksio sesarea (previous caesarean section)
dan pada kehamilan selanjutnya dilakukan seksio sesarea ulang. Seksio sesarea histerektomi adalah suatu operasi setelah janin dilahirkan dengan seksio
sesarea, langsung dilakukan histerektomi (pengangkatan rahim) oleh karena
sesuatu indikasi. Operasi porro adalah
suatu operasi tanpa mengeluarkan janin dari kavum uteri (tentunya janin sudah
mati), dan langsung dilakukan histerektomi, misalnya pada keadaan infeksi rahim
yang berat.
2. Indikasi
persalinan seksio sesarea
Banyak
indikasi yang dapat menyebabkan seorang ibu harus melahirkan secara seksio
sesarea. Untuk itu, perlu adanya pengawasan dan pemeriksaan yang lengkap selama
kehamilan.
Menurut
Liu (2007), seksio sesarea dilakukan untuk mengatasi disproporsi sefalo-pelvik
dan aktifitas uterus yang abnormal, mempercepat kelahiran untuk keselamatan ibu
atau janin, mengurangi trauma janin (misalnya presentasei bokong prematur
kecil) dan infeksi janin (misalnya resiko tertular infeksi herpetik atau HIV),
mengurangi resiko pada ibu (misalnya gangguan jantung tertentu, lesi
intrakranial atau keganasan pada serviks), memungkinkan ibu untuk menjalankan
pilihan sesuai keinginan.
Penyebab
utama dilakukan tindakan seksio sesarea bisa berasal dari ibu sendiri, atau
berasal dari janin. Menurut Saifuddin (2006), indikasi dilakukan seksio sesarea
dibagi 2 antara lain, indikasi pada ibu yaitu, disproporsi sefalo-pelvik (CPD),
disfungsi uterus, distosia jaringan lunak dan plasenta previa. Sedangkan
indikasi pada janin yaitu, janin besar, gawat janin, letak lintang.
Pada ibu, keadaan yang paling sering
menghambat persalinan normal adalah bentuk dan ukuran panggul yang tidak sesuai
dengan ukuran janin, sehingga janin
tidak dapat melewati jalan lahir keras. Hal ini karena pada saat hamil ibu
sering dikusuk pada bagian perutnya oleh dukun, padahal akibat dari pengusukan
perut yang terlalu sering dan kuat akan mengakibatkan kondisi rahim ibu
terganggu. Persalinan yang panjang dan lama yang tidak menunjukkan kemajuan
karena tidak adanya pembukaan pada servik juga dapat menyebabkan ibu harus
dirujuk ke rumah sakit untuk dilakukan tindakan pembedahan.
Menurut
Mochtar (1998), indikasi dilakukan seksio sesarea pada ibu antara lain panggul
sempit, ruptura uteri yang mengancam, partus yang berlangsung lama (prolonged labor), partus tak maju (obstructed labor), pre-eklamsi dan hipertensi. Sedangkan
indikasi pada janin yaitu malpresentasi janin seperti letak lintang, letak
bokong, presentase dahi dan muka, presentase rangkap dan gamelli (bayi kembar).
Penyebab
operasi sesarea dipengaruhi oleh dua faktor yaitu, faktor janin antara lain bayi terlalu besar yang mungkin saja ibu
memiliki riwayat diabetes mellitus atau kencing manis. Pertumbuhan janin
terhambat karena adanya gangguan pembentukan jaringan, kelainan letak janin
(letak sungsang dan letak lintang), ancaman gawat janin (fetal distress) akan
ditemukan pada pemeriksaan denyut jantung janin (DJJ) jumlahnya kurang dari 120
dan atau lebih dari 160 kali permenit, janin abnormal (misalnya gangguan Rh, kerusakan
genetik, dan hidrosephalus atau kepala besar karena otak berisi cairan).
Faktor
yang berasal dari plasenta antara lain plasenta previa yaitu letak plasenta
yang abnormal yang menutupi jalan lahir, solutio plasenta yaitu terlepasnya
plasenta sebelum bayi lahir, plasenta yang tertanam terlalu dalam atau plasenta
akreta (plesenta menempel sampai ke otot rahim), biasanya terjadi pada ibu
berusia rawan untuk hamil yaitu diatas 35 tahun, dan ibu yang mempunyai riwayat
persalinan yang lalu dengan operasi yang operasinya meninggalkan bekas yang
menyebabkan menempelnya plasenta, vasa previa (keadaan pembuluh darah diselaput
ketuban berada di mulut rahim, jika pecah dapat menimbulkan perdarahan.
Kelainan
pada tali pusat antara lain prolapsus tali pusat (tali pusat menumbung) pada
saat ketuban dipecahkan teraba tali pusat sehingga menghambat janin untuk
turun, terlilit tali pusat biasanya ditemukan pada leher bayi akibat pergerakan
janin yang terlalu aktif, bayi kembar (gamelli).
Dari
faktor ibu yang menyebabkan dilakukan
bedah sesarea antara lain usia (ibu yang melahirkan untuk pertama kalinya pada
usia sekitar 35 tahun memiliki resiko melahirkan dengan operasi. Apalagi dengan usia 40 tahun ke atas, karena
berisiko adanya penyakit penyerta seperti jantung, diabetes mellitus,
hipertensi dan pre-eklamsi. Untuk itu, ibu-ibu yang berusia diatas 35 tahun,
tidak dianjurkan untuk hamil. Tulang panggul (cephalopelvic disproportion/CPD) tidak sesuai ukuran panggul dengan
kepala bayi, persalinan sebelumnya dengan operasi, faktor hambatan jalan lahir
(jalan lahir yang kaku, adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan lahir
(distosia). Kelainan kontraksi rahim (kontraksi yang lemah dan tidak
terkoordinasi), ketuban pecah dini /KPD yaitu robeknya kantung ketuban sebelum waktunya,
akan membuka rahim sehingga memudahkan masuknya bakteri lewat vagina
menyebabkan terjadinya infeksi (Kasdu, 2003).
3. Hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam melakukan seksio sesarea
Agar
proses persalinan secara seksio sesarea dapat berjalan dengan baik, perlu
adanya kerjasama yang baik antara ibu dan petugas kesehatan. Menurut
Prawirohardjo (2002), dalam melakukan seksio sesarea perlu diperhatikan
beberapa hal, antara lain :
a. Seksio
elektif
Seksio
sesarea ini direncanakan lebih dahulu karena sudah diketahui bahwa kehamilan
harus diselesaikan dengan cara operasi, ibu hamil memang selayaknya harus
melakukan pemeriksaan selama kehamilan minimal empat kali, sehingga akan dapat
diketahui apakah kehamilan ibu nantinya dapat diakhiri dengan normal tanpa komplikasi
atau harus melalui persalinan seksio, keuntungannya seksio elektif adalah waktu
pembedahan dapat ditentukan dan direncanakan oleh dokter yang akan menolongnya
dan dapat dilakukan persiapan yang lebih baik. Kerugiannya ialah oleh karena
persalinan belum mulai, segmen bawah uterus belum terbentuk dengan baik
sehingga menyulitkan pembedahan, dan lebih mudah terjadi atonia uteri dengan
perdarahan karena uterus belum mulai berkontraksi.
b. Anestesia
Sebelum
dilakukan proses operasi ibu terlebih dahulu akan dibius, ada yang menggunakan
bius umum, yang membuat ibu akan tertidur dan tidak akan mengetahui apapun yang
terjadi. Ada juga yang menggunakan bius lokal yang membuat tubuh ibu hanya
sebagian saja yang dibius, sehingga ibu dapat mendengar dan bahkan dapat
melihat bayinya.
Anestesia
atau pembiusan umum mempunyai pengaruh depresif pada pusat pernafasan janin,
sehingga kadang-kadang bayi lahir dalam
keadaan apnea yang tidak dapat diatasi dengan mudah. Selain itu ada
pengaruh terhadap tonus uterus sehingga kadang-kadang timbul perdarahan
postpartum karena atonia uteri. Akan tetapi, bahaya terbesar pada pemberian
anestesia umum sedang lambung penderita tidak kosong. Pada wanita yang tidak
sadar karena anestesia ada kemungkinan isi lambung masuk kedalam jalan pernapasan,
dan ini merupakan hal yang berbahaya. Anestesia spinal aman untuk janin, akan
tetapi selalu ada kemungkinan tekanan darah penderita turun dengan akibat yang
buruk bagi ibu dan janin. Cara yang
paling aman adalah anestesia lokal, akan tetapi tidak selalu dapat dilakukan
berhubung dengan sikap mental penderita.
c. Transfusi
darah
Pada
umumnya perdarahan pada seksio sesarea lebih banyak dari pada persalinan
pervaginam. Perdarahan tersebut akibat insisi pada uterus, ketika pelepasan
plasenta, mungkin juga karena terjadinya atonia uteri postpartum. Oleh sebab
itu pada setiap akan dilakukan tindakan seksio sesarea perlu diadakan
persediaan darah. Namun, tidak semua rumah sakit mempunyai persediaan darah.
d. Pemberian
antibiotika
Walaupun
pemberian antibiotika sesudah seksio sesarea yang direncanakan sering tidak
diberikan, biasanya pada seksio yang elektif sebelum operasi pasien sudah
diberikan antibiotik. Namun, pada umumnya pemberiannya sangat dianjurkan.
Mengingat terjadinya infeksi sangat rawan pada ibu yang post seksio.
4.
Jenis-jenis seksio
sesarea
Menurut
Liu (2007), berdasarkan jenis insisi pada perut dan rahim, maka seksio sesarea
dibagi 2, yaitu insisi abdominal dan insisi uterus.
a. Insisi
abdominal
Pada
dasarnya insisi ini adalah garis tengah subumbilikal dan insisi abdominal bawah
transversa. Insisi garis tengah
subumbilikal, insisi ini mudah dan cepat. Akses mudah dengan perdarahan
minimal. Berguna jika akses ke segmen bawah sulit, contohnya jika ada kifosklerosis berat atau fibroid segmen bawah anterior. Walaupun
bekas luka tidak terlihat, terdapat banyak ketidaknyamanan pascaoperasi dan
luka jahitan lebih cenderung muncul dibandingkan dengan insisi transversa. Insisi transversa (pfannenstiel) insisi
ini merupakan pilihan saat ini, secara kosmetik sangat memuaskan, lebih sedikit
menimbulkan luka jahitan dan lebih sedikit ketidaknyamanan, memungkinkan
mobilitas pascaoperasi lebih baik, insisi secara teknik lebih sulit terutama
pada operasi berulang.
b. Insisi
uterus
Jalan
masuk ke dalam uterus dapat melalui insisi garis tengah atau insisi segmen
bawah transversa. Seksio sesarea segmen
bawah, keuntungannya adalah lokasi tersebut memiliki lebih sedikit pembuluh
darah sehingga kehilangan darah yang ditimbulkan lebih sedikit, mencegah
penyebaran infeksi ke rongga abdomen, merupakan bagian uterus yang sedikit
berkontraksi sehingga sedikit kemungkinan terjadinya ruptur pada bekas luka di
kehamilan berikutnya, penyembuhan lebih baik dengan komplikasi pascaoperasi
yang lebih sedikit seperti pelekatan, implantasi plasenta di atas bekas luka uterus kurang cenderung terjadi
pada kehamilan berikutnya.
Kerugiannya
meliputi akses mungkin terbatas, lokasi uterus yang berdekatan dengan kandung
kemih meningkatkan resiko kerusakan khususnya pada prosedur pengulangan.,
perluasan ke sudut lateral atau dibelakang kandung kemih dapat meningkatkan
kehilangan darah.
Seksio sesarea
klasik, insisi ini di tempatkan secara vertikal
di garis tengah uterus, indikasi penggunaannya meliputi jika akses ke segmen
bawah terhalang oleh pelekatan fibroid uterus, jika janin terimpaksi pada
posisi transversa, pada keadaan segmen bawah vaskular karena plasenta previa
anterior, jika ada karsinoma serviks, jika kecepatan sangat penting, contohnya
setelah kematian ibu.
Kerugiannya meliputi hemostasis lebih sulit dengan
insisi vaskulat yang tebal, pelekatan ke organ sekitarnya lebih mungkin,
plasenta anterior dapat ditemukan selama pemasukan, penyembuhan terhambat
karena involusi miometrial, terdapat lebih besar resiko ruptur uterus pada
kehamilan berikutnya. Insisi
kronig-gellhom-beck, insisi ini adalah insisi pada garis tengah pada segmen
bawah yang digunakan pada pelahiran prematur apabila segmen bawah terbentuk
dengan buruk atau dalam keadaan terdapatnya perluasan ke segmen uterus bagian
atas yang dilakukan untuk memberi lebih banyak akses, insisi ini lebih sedikit
komplikasi seksio sesarea klasik, insisi ini tidak menutup kemungkinan
pelahiran pervaginam.
5.
Perawatan praoperasi
Menurut
Liu (2007), perawatan praoperasi yang harus dikerjakan sebelum tindakan bedah
dimulai terdiri atas : pastikan alasan untuk pembedahan adalah valid dan tepat.
Dokter, bidan atau perawat yang bersangkutan harus mengemukakan alasan ini dan
mendiskusikannya secara jelas dengan ibu dan pasangannya. Riwayat obstetri dan
riwayat medis harus ditinjau ulang. Diskusikan jenis anestesia dengan dokter
anestesia dan ibu, beritahu dokter pediatri pada saat yang tepat, pemeriksaan
laboratorium darah, tersedianya 2 unit darah untuk keadaan darurat, berikan
antasida, dapatkan persetujuan tertulis, berikan antibiotika profilaksis. Ibu
dianjurkan untuk puasa, perawat akan melakukan persiapan pada ibu, seperti
pemasangan kateter, pemasangan infus, pemeriksaan vital sign yang lengkap.
Kesemua hal tersebut sangat penting diperhatikan, agar proses operasi dapat
berjalan dengan baik.
6.
Perawatan pascaoperasi
Menurut
Liu (2007) ibu yang mengalami komplikasi obstetri atau medis memerlukan
observasi ketat setelah seksio sesarea, perawatan umum untuk semua ibu meliputi
: kaji tanda-tanda vital baik tekanan darah, pernapasan, frekuensi jantung
maupun suhu tubuh, dengan interval teratur (15 menit), pastikan kondisinya
stabil. Lihat tinggi fundus pastikan rahim berkontraksi dengan baik, adanya
perdarahan dari luka dan jumlah lokia, pertahankan keseimbangan cairan,
pastikan analgesia yang adekuat, tangani kebutuhan khusus dengan indikasi
langsung untuk seksio sesarea, misalnya diabetes mellitus. Sebelum pemulangan
harus diberikan kesempatan sesuai dengan keadaan dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan pasien tentang hal-hal yang berhubungan dengan perawatan
luka seksio dan lainnya, jadwalkan untuk melakukan pengkajian ulang pasca
melahirkan guna memastikan penyembuhan total, mendiskusikan kehamilan
berikutnya dan pemakain alat kontrasepsi, dan memastikan tindak lanjut
perawatan untuk kondisi medisnya.
7. Risiko
operasi seksio sesarea
Operasi
seksio sesarea sebaiknya dilakukan karena pertimbangan medis, bukan karena
keinginan pasien yang tidak mau menanggung rasa sakit, hal ini karena risiko
operasi sesarea lebih besar dari pada persalinan alami. Demikian teori yang
disebutkan dalam buku Obstetrics and
Gynecology (dalam Kasdu, 2003). Didalamnya
dijelaskan, dalam kondisi ibu dan bayi yang sehat dan tidak ada kesulitan,
bedah sesarea memiliki risiko . Misalnya, kondisi pasien yang tidak dapat
diduga sebelumnya. Menurut Peel dan Chamberlain, indikasi untuk melakukan
operasi dengan berbagai penyebabnya mengakibatkan angka kematian ibu 17%
(sebelum dikoreksi) dan 0,58% (sesudah dikoreksi), sedangkan kematian janin
14,5%. Pada 774 persalinan berikutnya, terjadi 1,03% rupture uteri (rahim yang robek). Risiko ini bisa menimpa ibu
maupun bayinya.
Persalinan
dengan operasi memiliki kemungkinan risiko lima kali lebih besar terjadi
komplikasi dibandingkan persalinan
normal. Faktor risiko paling banyak dari operasi sesarea adalah akibat dari
tindakan anestesi, jumlah darah yang dikeluarkan oleh ibu selama operasi
berlangsung, komplikasi penyulit, endometritis
(radang endometrium), tromboplebilitis (pembekuan
darah pembuluh balik), embolisme
(penyumbatan pembuluh darah), paru-paru, dan pemulihan bentuk serta letak rahim
menjadi tidak sempurna.
Berikut ini adalah risiko-risiko yang mungkin
dialami oleh wanita yang melahirkan dengan operasi seksio sesarea yang dapat
mengakibatkan cedera pada ibu maupun bayi, dan risiko ini bersifat individual,
yaitu tidak terjadi pada semua orang.
a. Alergi
Biasanya
risiko ini terjadi pada pasien yang alergi terhadap obat tertentu, seperti
antibiotik, oleh sebab itu perlu dilakukan skin tes. Pada awalnya, yaitu pada
saat pembedahan, segalanya bisa berjalan lancar sehingga bayi pun lahir dengan
selamat. Namun, beberapa jam kemudian, ketika dokter sudah pulang, obat yang
diberikan baru bereaksi sehingga jalan pernapasan pasien dapat tertutup. Perlu
diketahui, penggunaan obat-obatan pada pasien dengan operasi sesarea lebih
banyak dibandingkan dengan cara melahirkan alami. Jenis obat-obatan ini
beragam, mulai dari antibiotik, obat untuk pembiusan, penghilang rasa sakit,
serta beberapa cairan infus. Oleh karena itu, biasanya sebelum operasi akan
ditanyakan kepada pasien apakah mempunyai alergi tertentu.
b. Perdarahan
Perdarahan
dapat mengakibatkan terbentuknya bekuan-bekuan darah pada pembuluh darah balik
di kaki dan rongga panggul. Oleh karena itu, sebelum operasi seorang wanita
harus melakukan pemeriksaan darah lengkap. Salah satunya untuk mengetahui
masalah pembekuan darahnya. Selain itu, perdarahan banyak bisa timbul pada
waktu pembedahan jika cabang-cabang arteri uteri ikut terbuka atau karena
atonia uteri. Kehilangan darah yang cukup banyak dapat menyebabkan syok secara
mendadak. Kalau perdarahan tidak dapat diatasi, kadang perlu tindakan
histerektomi atau pengangkatan rahim, terutama pada kasus atonia uteri yang
berlanjut.
c. Cedera
pada organ lain
Jika
tidak dilakukan secara hati-hati, kemungkinan pembedahan dapat mengakibatkan
terlukanya organ lain, seperti rektum atau kandung kemih. Penyembuhan luka
bekas bedah sesarea yang tidak sempurna dapat menyebabkan infeksi pada organ
rahim atau kandung kencing. Selain itu, dapat pula berdampak pada organ lain
dengan menimbulkan perlekatan pada organ-organ didalam rongga perut untuk
kehamilan risiko tinggi yang memerlukan penanganan khusus.
d. Parut
dalam rahim
Seorang
wanita yang sudah pernah mengalami pembedahan akan memiliki parut dalam rahim.
Oleh karena itu, pada tiap kehamilan dan persalinan berikutnya memerlukan
pengawasan yang cermat sehubungan dengan bahaya rupture uteri, meskipun jika opersai dilakukan secara sempurna
risiko ini sangat kecil terjadi. Sekitar 1-3% angka kejadian akibat operasi
menyebabkan rupture uteri. Biasanya,
kondisi ini terjadi apabila menggunakan sayatan klasik atau vertikal.
e. Demam
Kadang-kadang,
demam setelah operasi tidak bisa dijelaskan penyebabnya. Namun, kondisi ini
bisa terjadi karena infeksi. Komplikasi ringan yang sering terjadi adalah kenaikan suhu tubuh selama beberapa
hari dalam masa nifas, sedangkan komplikasi berat, seperti peritonitis (radang selaput perut), sepsis (reaksi umum disertai demam karena kegiatan bakteri), atau
disebut juga terjadi infeksi puerperal.
Infeksi pascaoperasi terjadi apabila sebelum pembedahan sudah ada gejala-gejala
infeksi intrapartum atau ada faktor-faktor yang merupakan predisposisi terhadap
kelainan itu. Misalnya, persalinannya berlangsung lama, khususnya setelah ketuban pecah, telah diupayakan
tindakan vaginal sebelumnya.
f. Mempengaruhi
produksi ASI
Efek
pembiusan dapat mempengaruhi produksi ASI jika dilakukan pembiusan total (narkose). Akibatnya, kolostrum (air susu
yang keluar pertama kali) tidak bisa dinikmati oleh bayi dan bayi tidak dapat
segera menyusui begitu ia dilahirkan. Namun, apabila dilakukan dengan pembiusan
regional (misalnya spinal) tidak banyak mempengaruhi produksi ASI .
8. Menghindarkan
bedah sesarea yang tidak perlu
Berkaitan
dengan pencanangan Departemen Kesehatan, IDI, dan POGI mengenai upaya penurunan
angka bedah sesarea di Indonesia, ada enam langkah yang harus ditempuh agar
angka bedah sesarea dapat dikendalikan, yaitu: (1) pendidikan dan evaluasi
terhadap pasien secara cermat; (2) telaah (review) eksternal; (3)
penyebarluasan informasi kepada masyarakat mengenai tingginya angka bedah
sesarea bagi setiap dokter atau RS; (4) reformasi terhadap horonarium dokter
yang melakukan bedah sesarea; (5) reformasi pembayaran bagi RS; dan (6)
reformasi terhadap tuntutan malpraktik, di mana (selain pasien) organisasi
profesi seperti IDI atau POGI (dalam hal ini) dapat mengajukan tuntutan
malpraktik kepada dokter yang bertindak melanggar atau menyalahi etika maupun
ketentuan-ketentuan yang telah disepakati, termasuk mengenai masalah bedah
sesarea.
Keenam
langkah ini memang jelas berpihak kepada pasien, sedangkan dokter (kebidanan)
harus benar-benar back to basic untuk
dapat menerimanya dengan tulus. Apabila diterapkan, maka keenam langkah
tersebut akan mereduksi serta mengurangi hak istimewa dan arogansi dokter
secara bermakna. Sebaliknya, memberikan hak yang lebih luas, adil dan
proporsional kepada para pasien. Dengan begitu, diperoleh suatu jaminan bahwa
bedah sesarea benar-benar merupakan tindakan yang profesional dan sesuai dengan
etika medis. Selain itu, terdapat keseimbangan dengan hak pasien dalam proses
pengambilan keputusan untuk pembedahan sesarea, sesuatu yang belakangan ini semakin diabaikan dalam
hubungan profesional dokter-pasien (Dewi dan Fauzi, 2007).
9.
Partisipasi pasien
untuk pengendalian angka bedah seksio sesarea
a.
Sebelum persalinan :
para ibu harus dianjurkan untuk banyak membaca dan mempelajari berbagai hal
yang berkaitan dengan kehamilan dan persalinan, kalau perlu ikut mendengarkan
penjelasan yang disampaikan oleh bidan, dokter, ataupun Rumah Sakit. Selain itu
disarankan pula (bila memungkinkan) untuk melihat fasilitas tempatnya bersalin
kelak, lalu bertanya kepada lebih dari satu orang tenaga kesehatan yang
mengetahui mengenai persalinan. Jika direncanakan untuk bedah sesarea, mintalah
dokter untuk menjelaskan dan membuktikan indikasi medisnya.
b.
Dalam persalinan :
diusahakan untuk dapat tinggal selama mungkin dirumah, sampai dirasakan bahwa
kontraksi rahim sudah sedemikian sering dan kuat sehingga tidak memungkinkan
untuk berjalan-jalan atau melakukan aktivitas. Kedatangan yang terlalu dini ke
tempat bersalin seringkali justru menimbulkan stres. Para ibu akan mengalami
nyeri atau rasa sakit, tetapi sebaiknya tidak meminta untuk dibius (regional
maupun umum). Dalam kaitan ini, dukungan dari suami menjadi salah satu faktor
penting. Dukungan tersebut harus diarahkan kepada dorongan agar sang istri yang
sedang bersalin itu berusaha sekuat tenaga untuk menghindari bedah sesarea.
Semua pihak harus menyadari bahwa persalinan atau kelahiran yang alamiah adalah
yang terbaik, sedangkan bedah sesarea sebenarnya merupakan alternatif (Dewi
& fauzi, 2007).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar